SUARA CIANJUR | JAKARTA - Perdebatan tentang karakter anak apakah lebih banyak dipengaruhi oleh keturunan atau lingkungan bukan hal yang baru dibicarakan. Sejak lama, orang tua, pendidik, hingga pakar psikologi mencoba memahami faktor apa yang paling menentukan kepribadian, sikap, dan moral seorang anak.
Namun, melihat perkembangan ilmu dan realitas sosial saat ini, jawaban yang paling masuk akal bukanlah memilih salah satu, tetapi memahami bagaimana keduanya saling berinteraksi dalam membentuk karakter anak.
Keturunan memberikan fondasi awal bagi seorang anak. Faktor genetik dapat memengaruhi karakter, tingkat emosi, kecenderungan kecerdasan, hingga bakat tertentu.
Anak yang secara genetik memiliki temperamen tenang, misalnya, cenderung lebih mudah diarahkan dan beradaptasi. Sebaliknya, anak dengan karakter yang lebih aktif atau impulsif memerlukan pendekatan pengasuhan yang berbeda. Namun, penting dipahami bahwa gen bukanlah takdir mutlak. Ia hanya menyediakan potensi, dan bukan hasil akhir.
Di sinilah peran lingkungan menjadi penting. Lingkungan keluarga merupakan ruang pertama tempat anak belajar nilai, norma, dan perilaku. Pola asuh orang tua akan sangat menentukan bagaimana potensi bawaan anak berkembang.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang, komunikasi terbuka, dan keteladanan positif cenderung memiliki karakter empatik, percaya diri, dan bertanggung jawab, meskipun mungkin memiliki keterbatasan bawaan tertentu,
Selain keluarga, lingkungan sekolah dan masyarakat turut memperkuat pembentukan karakter.
Guru bukan hanya pengajar materi akademik, tetapi juga model perilaku bagi peserta didik. Sementara itu, apakah pergaulan sebaya dan budaya sosial dapat memperkuat atau justru dapat melemahkan nilai-nilai yang telah ditanamkan di rumah.
Anak dengan keturunan baik sekalipun berpotensi mengalami penyimpangan karakter jika ia berada di lingkungan yang penuh kekerasan, diskriminasi, atau minim keteladanan. Ini menunjukkan bahwa keturunan dan lingkungan tidak berdiri sendiri dalam membentuk karakter anak, melainkan saling memengaruhi.
Lingkungan yang tepat mampu mengoptimalkan potensi positif dari keturunan, bahkan menekan kecenderungan negatif yang mungkin diwariskan. Sebaliknya, lingkungan yang buruk dapat menghambat bahkan merusak potensi terbaik seorang anak.
Oleh karena itu, menyalahkan faktor keturunan semata atas perilaku anak adalah sikap yang tidak bijak. Demikian pula, mengabaikan peran lingkungan berarti menutup mata terhadap tanggung jawab secara kolektif dalam mendidik generasi masa depan.
Orang tua, sekolah, dan masyarakat memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya karakter anak yang berakhlak, tangguh, dan berdaya saing.
Pada akhirnya, karakter anak bukanlah hasil instan, melainkan proses panjang yang dipengaruhi oleh apa yang diwariskan dan apa yang dialami.
Keturunan memberi benih, lingkungan menentukan bagaimana benih itu tumbuh. Jika kita ingin membentuk generasi yang berkarakter kuat, maka memperbaiki lingkungan, pendidikan, dan pengasuhan adalah langkah yang tidak bisa ditawar.
Zinadine Zidan Majid.