Foto: Dok. (Net) Siapa Yang Lebih Berhak Mendefinisikan Kata Nyai? Kolonial yang datang Menanam Stigma? atau Tradisi Pesantren yang tetap Memakainya Sebagai Gelar Kehormatan?. |
SUARA CIANJUR | NET - Ada satu hal yang sering menimbulkan kebingungan besar ketika membicarakan kata nyai. Di masa kolonial, nyai jelas berarti gundik, perempuan pribumi yang dijadikan istri simpanan meneer Eropa. Kata itu berbau hina, penuh luka, dan menyiratkan posisi perempuan sebagai objek. Akan tetapi anehnya, di masa modern, terutama dalam tradisi pesantren, istri kiai justru dipanggil Nyai. Gelar ini dimaknai sebagai bentuk kehormatan.
Kenapa bisa begitu? Jawabannya terletak pada sejarah bahasa. Kata nyai sebenarnya jauh lebih tua daripada zaman kolonial. Dalam tradisi Jawa kuno, nyai adalah panggilan hormat untuk perempuan terhormat atau yang dituakan, sama seperti raden ayu atau emban. Jadi, ketika kolonial datang dan memakai kata nyai untuk menyebut gundik, mereka sebenarnya sedang merusak makna asli kata itu. Seolah-olah mereka ingin menciptakan stigma baru, agar masyarakat pribumi terbiasa melihat perempuan pribumi dalam posisi rendah dan hina.
Namun, setelah kolonial pergi, masyarakat pesantren tetap memakai istilah nyai dalam arti aslinya, seorang perempuan yang dihormati karena kedudukannya sebagai pendamping kiai, ibu santri, penjaga pesantren. Gelar itu bukan hinaan, melainkan martabat. Ironisnya, karena orang lebih banyak mengenal sejarah kolonial ketimbang akar budaya lokal, kata nyai di telinga orang modern sering terdengar negatif.
Jadi, jangan heran kalau sekarang muncul perdebatan, sebagian orang mencibir, “Kenapa istri kiai disebut nyai, bukankah nyai itu artinya gundik?”
Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Sistem bahasa kolonial lah yang sengaja menurunkan derajat kata itu. Kolonial membutuhkan simbol untuk meneguhkan kekuasaan mereka, dan merampas istilah yang tadinya terhormat untuk dilekatkan pada perempuan yang mereka jadikan gundik.
Inilah contoh nyata bagaimana bahasa bisa dipelintir oleh kekuasaan. Sebuah kata bisa diangkat atau dijatuhkan sesuai kepentingan politik dan ekonomi. Dalam kasus nyai, kata itu dibiaskan agar generasi setelahnya kebingungan membedakan mana yang mulia, mana yang hina.
Dan pertanyaannya sekarang, siapa yang lebih berhak mendefinisikan kata itu? Kolonial yang datang menanam stigma? Atau tradisi pesantren yang tetap memakainya sebagai gelar kehormatan?.
Fatiha.