SUARA CIANJUR | CIANJUR - Dibalik riuh sejarah Gerakan 30 September 1965, ada satu kisah sunyi yang tak banyak terdengar. Kisah seorang Isteri dan tiga anak kecil yang malam itu tidak hanya kehilangan Kepala Keluarga, tetapi juga masa depan yang berubah selamanya.
Margaretha Wagina, perempuan sederhana yang selalu menunggu suaminya pulang dari tugas, sedang berada di rumah bersama anak-anaknya pada malam 30 September 1965. Tak ada firasat buruk, hanya rindu seperti biasa kepada suaminya. Karel Sadsuitubun sosok Brimob pemberani yang dikenal banyak orang sebagai KS Tubun.
Cinta yang berawal dari sebuah Foto
Pada tahun 1954, Wagina yang tinggal di rumah saudarinya di Jakarta berkenalan dengan seorang perempuan yang tunangannya bertugas sebagai Anggota Brigade Mobil di Aceh. Mereka berfoto bersama. Foto itu dikirim ke sang tunangan, dan tanpa disangka juga sampai ke tangan seorang prajurit Brimob lain bernama Karek Sadsuitubun.
Ketika Karel pulang ke Jakarta, mereka berkenalan dan menjalin hubungan. Lima tahun lamanya mereka berpacaran, penuh jarak dan masa- masa ketika Karel harus bertugas di daerah operasi. Hingga akhirnya mereka menikah dan di karuniai tiga anak: Philipus Sumarno, Petrus Indro Waluyo, dan Linus Paulus Suprapto.
Karel bukan sembarang polisi. Ia pernah terlibat dalam operasi penumpasan PRRI serta perebutan Irian Barat, dua operasi besar dalam sejarah Indonesia.
Malam kelam 30 September 1965
Saat malam G30S, KS Tubun tengah berjaga di rumah Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena. Rumah itu bersebelahan dengan kediaman Jenderal Nasution, target utama kelompok bersenjata. Saat rombongan prajurit pemberontak menyerbu area tersebut, Karel sedang tidur di gertak bangun dengan kasar oleh para penyerbu.
Begitu sadar bahwa yang berdiri di hadapannya bukan rekannya sendiri, Karel langsung melawan tanpa ragu, tanpa takut. Ia berkelahi melawan delapan prajurit yang telah terlatih, menurut kesaksian AH. Nasution. Perlawanan itu membuktikan keberaniannya, tetapi nyawanya berakhir oleh tembakan.
Ia gugur ditempat, menjalankan tugas sebagai penjaga keamanan negara.
Kabar duka yang mengguncang Wagina
Pagi 1 Oktober 1965, kabar itu tiba. Wagina kehilangan suaminya, sandaran hidupnya. Namun Ia tak boleh runtuh tiga anak mereka menatapnya tanpa mengerti apa yang terjadi.
Anak bungsu mereka, Paulus, baru berusia satu tahun.
Beberapa tahun kemudian, ketika Paulus berumur lima tahun, ia meminta kepada Ibunya, polos dan lugu:
" Ayo mak kita lihat bapak, cepat sedikit kasihan bapak menunggu."
Wagina yang sudah rapuh berusaha tegar. Mereka pergi ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Didepan pusara sang ayah, Paulus bertanya:
" Bapak dimana mak?" tanya Paulus polos.
" Disini... di kuburan. Didalam ini ada Bapak." lirih Wagina.
Ketika Paulus akhirnya memahami apa itu kematian, ia kembali bertanya, memastikan:
" Kalau begitu bapak sudah mati?"
Wagina hanya mengangguk. Dunia kecil itu runtuh dalam sekejap.
Meneruskan hidup tanpa Sang Pahlawan
Setelah KS Tubun dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi dan di makamkan di kalibata, keluarga kecil ini hidup dalam kesederhanaan. Mereka harus meninggalkan rumah dinas di kedunghalang, Bogor, baru pada 1974 mereka mendapat sebuah rumah kavling di Jelambar, Jakarta.
Pada masa remaja Petrus Ingin menjadi seperti ayahnya, sementara Paulus bercita- cita menjadi tentara. Wagina kembali teringat rasa takut kehilangan bayangan suaminya yang pergi tak kembali.
Karel sering datang dalam mimpi, seolah menengok keluarga yang ia tinggalkan demi tugas negara. Wagina dan ketiga anaknya, sebagai keluarga Katolik yang taat, belajar menerima hidup yang pahit, namun penuh kebanggaan.
Mereka menjaga warisan KS Tubun: Keberanian, Kesetiaan, dan cinta yang tak pernah mati.
Sumber: historia.id