| Foto: Dok. (Agus Prabu/SC) Ketua Dewan Pertimbangan Pimpinan Besar (DPPB) Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Ervan Taufik. |
SUARA CIANJUR | JAKARTA - Ketua Dewan Pertimbangan Pimpinan Besar (DPPB) Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Ervan Taufik, mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, Ervan menyoroti tentang Kepemimpinan, Nyawa Manusia, dan Kehadiran Negara, dalam menyikapi Bencana Banjir Bandang di Pulau Sumatera.
Berikut adalah surat terbuka yang dilayangkan Ketua DPPB Pemuda Muslimin kepada Presiden:
Kepada Yth.
Presiden Republik Indonesia
Bapak H. Prabowo Subianto
Bapak Presiden yang kami hormati,
Dalam ilmu kepemimpinan klasik, Herbert N. Casson menulis bahwa kepemimpinan sejati bukanlah soal jabatan, melainkan keberanian mengambil keputusan ketika risiko paling besar berada di pundak pemimpin.
Pada saat seperti itulah, seorang pemimpin tidak diukur dari kalkulasi politiknya, melainkan dari keberpihakannya pada kehidupan.
Saat ini, di Sumatera, rakyat tidak sedang memperdebatkan terminologi, apakah ini bencana alam, bencana ekologis, atau bencana kebijakan.
Rakyat sedang berhadapan dengan kenyataan paling telanjang: kehilangan tempat tinggal, kehilangan mata pencaharian, bahkan kehilangan nyawa.
Dalam kondisi seperti ini, negara tidak boleh ragu, apalagi menunda.
Hak Hidup : Titik Nol Negara.
Konstitusi kita tidak membuka ruang tafsir yang berbelit. Pasal 28A UUD 1945 menegaskan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Hak hidup adalah hak non-derogable—hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun.
Dalam perspektif hukum tata negara dan hukum internasional, tidak ada alasan politik, administratif, atau reputasional yang dapat membenarkan keterlambatan penyelamatan manusia.
Dalam Islam, prinsip ini bahkan lebih tegas.
Allah SWT berfirman:
مَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.”
(QS. Al-Ma’idah: 32)
Ibnu Abbas رضي الله عنه menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan nilai satu nyawa manusia setara dengan nilai kemanusiaan seluruhnya.
Maka menunda penyelamatan satu kelompok rakyat sama artinya dengan meruntuhkan fondasi moral sebuah negara. Negara Hadir atau Negara Menghitung?
Napoleon Hill mengingatkan bahwa kegagalan kepemimpinan sering kali bukan karena kurangnya kemampuan, tetapi karena ketakutan mengambil keputusan besar pada saat krusial. Ketika negara terlalu sibuk menimbang risiko citra, reputasi internasional, atau implikasi hukum masa lalu, rakyat di lapangan justru sedang mempertaruhkan hidup hari demi hari.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, Negara yang kehilangan ‘ashabiyyah—solidaritas aktif dengan rakyatnya—akan runtuh bukan karena serangan luar, melainkan karena retaknya ikatan moral antara penguasa dan yang dikuasai.
Menunda penetapan status darurat, membatasi akses bantuan, atau memperlambat respons kemanusiaan bukanlah kehati-hatian, melainkan kelalaian yang dilembagakan.
Akuntabilitas Tidak Boleh Mengalahkan Kemanusiaan, Akuntabilitas hukum atas kerusakan lingkungan adalah kewajiban.
Namun, Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengingatkan sebuah kaidah penting: “Syariat dibangun di atas keadilan, rahmat, dan kemaslahatan. Setiap kebijakan yang keluar dari nilai-nilai itu, maka ia bukan bagian dari keadilan.”
Penegakan hukum harus datang setelah nyawa diselamatkan, bukan dijadikan alasan untuk menunda penyelamatan.
Dalam ilmu manajemen krisis modern, ini dikenal sebagai prinsip “life first, liability later.”
Jusuf Kalla, dalam banyak pengalaman penanganan konflik dan bencana, menunjukkan bahwa kecepatan keputusan sering kali lebih menyelamatkan daripada kesempurnaan prosedur.
Negara yang bergerak cepat mungkin dikritik, tetapi negara yang lambat akan diadili oleh sejarah.
Cermin Dunia dan Catatan Sejarah
Norman Vincent Peale menulis bahwa kepercayaan publik tidak runtuh oleh kritik, tetapi oleh ketidaksinkronan antara kata dan tindakan.
Hari ini dunia tidak menilai Indonesia dari pidato atau klaim kapasitas, tetapi dari apa yang nyata terlihat di lapangan setelah lebih dari 23 hari bencana berlalu.
Sejarah tidak mencatat alasan teknokratis.
Sejarah tidak menyimpan notulen rapat.
Sejarah hanya bertanya satu hal sederhana: "Apakah negara hadir, atau absen, ketika rakyatnya paling membutuhkan perlindungan?".
Kepemimpinan sebagai Amanah
Bapak Presiden, dan Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“ Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Umar رضي الله عنه memahami hadits ini bukan sebagai simbol kehormatan, melainkan beban amanah.
Kepemimpinan nasional diuji bukan saat situasi normal, tetapi saat segalanya genting dan keputusan harus diambil tanpa menunggu tepuk tangan.
Di titik inilah kepemimpinan Bapak Presiden diuji- bukan sebagai penjaga citra, melainkan sebagai penjaga kehidupan bangsa dan negara.
Jakarta, 22 Desember 2025.
Atas nama Hak Hidup, Konstitusi, dan Martabat NKRI.
Ervan Taufiq
Ketua Dewan Pertimbangan
PB Pemuda Muslimin Indonesia.
(Agus Prabu)