MASJID YANG ENGGAN “MEMULIAKAN” PENGAJAR AL QUR’AN ….

SUARA CIANJUR
Agustus 06, 2017 | 02:58 WIB Last Updated 2020-09-05T20:40:25Z

Oleh : Ustadz Nasrullah Jumadi

Tema tersebut saya angkat, berawal dari perjumpaanku dengan salah seorang pengajar TPA/TPQ disalah satu masjid. Ia menceritakan bagaimana beratnya tanggungjawab sebagai pengelola dan sekaligus pengajar  TPA/TPQ selama ini, hampir waktu sorenya dihabiskan untuk mendampingi anak-anak belajar Al Qur’an. Padahal jika dibandingkan pemuda seusianya, banyak para pemuda yang menghabiskan waktu sorenya untuk les pelajaran sekolah, ada yang berolah raga, ada yang bersendau gurau dengan teman lainnya dll, tapi dirinya rela dan ikhlas mendampingi, membimbing dan mengajar di TPA/TPQ. Walaupun ilmu yang dimilikinya terbatas, tapi dirinya tetap bersemangat dan terus berusaha semampunya mengemban amanah dengan sebaik-baiknya, demi adik- adik kampungnya agar bisa membaca Al Qur’an dengan baik. .

Ditengah asiknya dirinya bercerita, saya sesekali bertanya padanya untuk lebih menjelaskan lagi bagaimana suka dan dukanya menjadi pengajar TPA/TPQ selama ini, Saat itu saya bertanya padanya, apakah selama ini tidak ada pertemuan rutin dengan pengurus masjid setempat (sebagai bentuk dukungan) dan dana operasional dari pengurus masjid ? Ia memberikan  jawaban yang sangat mengherankan saya, jangankan pertemuan mas, melihat langsung TPA/TPQ saja ngak pernah dilakukannya. Sedangkan untuk dana operasional TPA/TPQ saja kita diharuskan membuat proposal terlebih dulu,  padahal dana yang kita minta hanya cuma Rp. 50 ribu saja. Mendengar jawaban tersebut, saya sangat heran dan tak hampir pikir dengan perjalanan TPA/TPQ di masjid tersebut. Dalam hati saya hanya bisa prihatin, kok zaman sekarang masih ada saja pengurus masjid yang tidak peduli dengan TPA/TPQ, khususnya lagi pengajar TPA/TPQ (seiring dengan perjalanan waktu, pada akhirnya TPA/TPQ di masjid tersebut mati karena tak terurus dengan baik).

Pembaca sekalian, inilah gambaran nyata dari perjalanan TPA/TPQ kita saat ini, yang tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Semua ini terjadi salah satunya karena masjid hari ini enggan untuk “memuliakan” para pengajar Al Qur’an, khususnya pengajar TPA/TPQ saat ini. Banyak pengurus masjid dan masyarakat muslim saat ini sangat meremehkan tenaga pengajar Al Qur’an. Sehingga banyak pengajar TPA/TPQ yang tidak terurus dengan baik (padahal dana kas masjid sangat melimpah), jangankan subsidi yang layak sebagai salah satu bentuk cara kita “memuliakan” tenaga pengajar TPA/TPQ, peduli disaat sakit ataupun peduli disaat keluarganya mengalami kesusahan pun sangat jarang dilakukan. Padahal ditangan merekalah anak-anak kita bisa membaca Al Qur’an dan akhirnya mengenal Islam. Dan ditangan- tangan merekalah generasi masjid terbangun, terlebih lagi tidak ada yang paling berharga di dunia ini sebagai bekal utama anak kita, kecuali bekal-bekal Al Qur’an.

Kenyataan saat ini sangat jauh, jika kita melihat bagaimana para salafusholeh dahulu menghormati dan memuliakan tenaga pengajar Al Qur’an. Mereka rela berkorban apapun agar anak-anak mereka bisa diajari Al Qur’an. Hal ini terlihat dengan jelas pada kisah dibawah ini, yakni ketika Hamad bin Abi hanifah telah lancar membaca Surat Al fatihah, Abu Hanifah memberi imbalan kepada gurunya 100 dirham. Padahal ketika itu dengan uang 1 dirham saja sudah bisa dibelikan seekor domba. Gurunya merasa bahwa imbalan yang diterimanya terlalu besar baginya, padahal ia baru mengajarkan surat Al fatihah. Karena tahu bahwa sang guru merasakan hal itu, maka Abu Hanifah berkata kepadanya : “Janganlah kamu menganggap remeh apa yang kamu ajarkan kepada anakku. Andaikan saja aku punya lebih banyak lagi, aku akan berikan padamu sebagai bentuk pengagungan kepada Al Qur’an” (Sumber : “Mendidik Anak Bersma Nabi” karya  Muhammad Suwaid : Penerbit Pustaka Arofah)

Kisah di atas memberi pelajaran yang cukup berharga bagaimana mereka “memuliakan” tenaga pengajar Al Qur’an (karena yang diajarkan adalah Al Qur’an), walaupun bentuk memuliakan tersebut tidak mesti harus diukur dengan materi semata, misalkan mendahulukan mereka menjadi seorang pemimpin/Iman Rowatib masjid (bukan ketua takmir secara otomatis Iman Rowatib, tapi  dicari yang paling banyak hafalan dan memamahi Islam). Jika perhatian, kepedulian, dan rasa penghormatan terhadap pengajar Al Qur’an tidak dijunjung tinggi ketika itu, mungkin saat ini kita tidak akan bisa mengenal Al Qur’an dan pada akhirnya kita tidak mengenal Islam.

Pembaca sekalian, tidak adanya usaha “memuliakan” pengajar Al Qur’an yang dilakukan masjid disebabkan karena tak mampu, barangkali bisa kita maklumi bersama, tapi kenyataan dilapangan memberi bukti bahwa tidak “memuliakan” lebih karena masjid hari ini enggan. Keengganan ini bukan tanpa konsekwensi, adapun konsekwensinya,  antara lain :

1. Taman Pendidikan Al Qur’an di masjid sudah pasti tidak akan berjalan atau mati, karena tidak adanya tenaga pengajar Al Qur’an di sekitar masjid yang mampu memberikan pengajaran Al Qur’an di TPA/TPQ

2. Kalau TPA/TPQ masjid mati, sudah bisa dipastikan remaja atau pemudanya pun akan jauh dari Al Qur’an dan masjidnya (maka anda jangan heran, jika ada masjid tanpa pemuda)

3. Maka secara otomatis masjid telah gagal membangun generasi karena pemuda/i sudah jauh dari masjid, kalau pun hadir biasanya hanya dibulan Ramadhan saja.

4. Masjid akan berlomba-lomba membangun fisik masjid, tapi gagal membangun masyarakatnya, terlebih lagi generasi mudanya

5. Implikasi lainnya adalah kualitas bacaan Imam Sholat Rowatibnya pun tidak memiliki bacaan yang sesuai kaidah membaca Al Qur’an yang baik dan benar, hal ini bisa dimungkinkan dulunya sang imam tidak pernah belajar Al Qur’an di TPA/TPQ.

Sebagai akhir dari tulisan ini, sudah saatnya kita hormati dan “muliakan” pengajar TPA/TPQ saat ini, kita berikan apresiasi yang setinggi-tingginya pada mereka, sebab tanpa mereka, anak dan generasi kita tak akan mampu dan mengerti Al Qur’an. Tempatkan para pengajar Al Qur’an di makam kita yang tertinggi, dahulukan mereka untuk menjadi Imam sholat walaupun kita lebih pandai dan tua. Hormatilah mereka karena dipundaknya Al Qur’an diamanahkan, ringankan mereka untuk mengemban amanah Al Qur’an.Maka dari itu, jangan harap masjid akan menemukan kemakmurannya jika para pengurus masjid tidak menghormati dan “memuliakan” para pengajar TPA/TPQ yang ada di masjidnya. Dan jangan harap pula para orang tua akan menjumpai anak-anak mereka pandai membaca dan memahami Al Qur’an, jika tidak ada usaha untuk menghormati dan “memuliakan” tenaga pengajar Al Qur’an, khususnya pengajar TPA/TPQ.

Untuk itu hormati dan “muliakanlah” mereka …

Wallahu a’alam bishowab

——————————————————————
……ketika Hamad bin Abi hanifah telah lancar membaca Surat Al fatihah, Abu Hanifah memberi imbalan kepada gurunya 100 dirham. Padahal ketika itu dengan uang 1 dirham saja sudah bisa dibelikan seekor domba. Gurunya merasa bahwa imbalan yang diterimanya terlalu besar baginya, padahal ia baru mengajarkan surat Al fatihah. Karena tahu bahwa sang guru merasakan hal itu, maka Abu Hanifah berkata kepadanya : “Janganlah kamu menganggap remeh apa yang kamu ajarkan kepada anakku. Andaikan saja aku punya lebih banyak lagi, aku akan berikan padamu sebagai bentuk pengagungan kepada Al Qur’an” (Sumber : “Mendidik Anak Bersma Nabi” karya  Muhammad Suwaid : Penerbit Pustaka Arofah)
————————————————————–
JANGAN HARAP MASJID AKAN MENEMUKAN KEMAKMURANNYA, JIKA PARA PENGURUS MASJID ENGGAN MENGORMATI DAN “MEMULIAKAN” PARA TENAGA PENGAJAR AL QUR’AN (TPA/TPQ) DI MASJIDNYA ….

DAN JANGAN HARAP PULA PARA ORANG TUA AKAN MENJUMPAI ANAK-ANAK MEREKA PANDAI MEMBACA, BAHKAN MENGHAFAL AL QUR’AN, JIKA TIDAK ADA USAHA UNTUK MENGHORMATI dan “MEMULIAKAN” TENAGA PENGAJAR AL QUR’AN ….
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • MASJID YANG ENGGAN “MEMULIAKAN” PENGAJAR AL QUR’AN ….

Trending Now

Iklan