Suaracianjur.com | Jakarta - Seorang anggota parlemen Israel mengusulkan untuk membagi dua Masjid Al Aqsa antara umat Yahudi dan Muslim. Usulan itu memicu kekhawatiran besar dari warga Palestina yang telah lama khawatir tempat suci itu akan terpecah.
Amit Halevi, seorang anggota parlemen dari partai Likud yang berkuasa, menguraikan rencananya dalam sebuah wawancara dengan surat kabar berbahasa Ibrani Zeman Israel. Dia menyerukan untuk memberi umat Islam sekitar 30 persen dari bagian selatan kompleks Masjid Al Aqsa. Sisanya yaitu 70 persen akan diberikan kepada umat Yahudi, termasuk area di mana Dome of the Rock berada.
Masjid Al Aqsa, yang membentang seluas 14 hektar dan termasuk Dome of the Rock serta ruang sholat al-Qibli berkubah perak. Masjid tersebut, adalah situs Islam untuk berdoa dan menjalani ritual. Umat non-Muslim dilarang datang ke Masjid Al Aqsa selama beberapa dekade, berdasarkan perjanjian internasional. Bukit tempat masjid itu berada dikenal orang Yahudi sebagai Temple Mount, dan diyakini sebagai situs di mana dua kuil Yahudi kuno pernah berdiri.
Usulan pembagian Masjid Al Aqsa muncul setelah meningkatnya intrusi Israel oleh pemukim sayap kanan, dan pelanggaran berulang terhadap perjanjian yang ada atas penggunaan situs tersebut oleh pasukan Israel.
Sejak Israel menduduki Yerusalem Timur pada tahun 1967, termasuk Kota Tua di mana Masjid Al-Aqsa berada, kelompok ultra-nasionalis Israel telah mendorong untuk memaksakan "kedaulatan penuh" atas situs tersebut. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa sifat Palestina dan Islam dari situs tersebut akan menjadi diubah.
Rencana yang diusulkan Amit Halevi itu menuai penolakan dari warga Palestina. Rencana itu akan menyeret wilayah Masjid Al Aqsa ke dalam tungku perang agama.
Komite Kepresidenan Tinggi Urusan Gereja di Palestina mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa rencana itu harus dihentikan dan dikonfrontasi.
Orang-orang Palestina telah lama khawatir bahwa fondasi untuk membagi Al Aqsa antara Yahudi dan Muslim sedang diletakkan, seperti Masjid Ibrahimi di Hebron yang terpecah pada 1990-an. Kecurigaan ini berdasarkan meningkatnya jumlah ultra-nasionalis Israel baru-baru ini yang mengunjungi dan berdoa di Al-Aqsa di bawah perlindungan polisi tanpa izin dari warga Palestina.
Pada 2009, 5.658 pemukim memasuki masjid dalam serangan tersebut. Pada 2019, tepat sebelum pandemi Covid-19, jumlahnya naik menjadi 30.000, menurut beberapa perkiraan.
Dalam wawancaranya, Halevi juga menyarankan agar pemerintahan Yordania di Al Aqsa dicabut. Keluarga kerajaan Hashemite Yordania telah menjadi penjaga situs suci Muslim dan Kristen di Yerusalem, termasuk Al Aqsa, selama beberapa dekade. Hal ini adalah sebagai bagian dari pengaturan internasional yang rumit yang dikenal sebagai "status quo".
"Jika mereka berdoa di sana, itu tidak menjadikan seluruh Temple Mount sebagai tempat suci bagi umat Islam. Itu tidak dan tidak akan terjadi," kata Halevi, menggunakan istilah Yahudi Temple Mount untuk merujuk ke Al Aqsa.
"Kami akan mengambil ujung utara dan berdoa di sana. Seluruh gunung itu suci bagi kami, dan Kubah Batu adalah tempat di mana Kuil itu berdiri. Ini harus menjadi pedoman kami. Israel memimpin. Ini akan menjadi sejarah, pernyataan agama dan nasional," tambah Halevi.
Ia juga berusaha mengubah prosedur akses bagi orang Yahudi yang mengunjungi Masjid Al Aqsa. Halevi menuntut agar orang Yahudi diizinkan memasuki kompleks melalui semua gerbang, bukan hanya melalui Gerbang Maroko barat daya.
Gerbang Maroko, atau Bab al-Magharba, adalah satu-satunya gerbang dari 15 titik masuk masjid di bawah kendali penuh otoritas Israel yang tidak dapat diakses oleh warga Palestina. September lalu, ultra-nasionalis Israel menyerbu Al Aqsa melalui Gerbang Singa (Bab al-Asbat), menandai pertama kalinya mereka memasuki halaman masjid dari gerbang sejak pendudukan Israel di Yerusalem Timur.
(Red)
Sumber: tempo.co