Lindungi Kawanannya, Tiga Ekor Ayam Hutan Berdiri Menantang Maut, Begini Ceritanya?

suaracianjur.com
Mei 29, 2025 | 17:45 WIB Last Updated 2025-05-29T10:48:22Z
Foto: Dok. (Net) Gambar ilustrasi (Gambar istimewa).

SUARA CIANJUR | CIANJUR - Seperti hari- hari sebelumnya, Umar Bakri setiap harinya menempuh jarak puluhan kilo meter untuk menuju sekolah tempat ia mengajar, sewaktu berangkat dari rumahnya yang sederhana, semuanya nampak berjalan normal seperti biasanya, tak ada hal janggal yang di rasakan oleh guru sekolah dasar tersebut.

Tepat pukul 15.00 WIB, penjaga sekolah bersemangat memukul lonceng yang terbuat dari besi berkarat, namun, suaranya nyaring menelusuri setiap ruangan kelas, suara yang familiar tersebut di sambut senyuman dari para peserta didik.

" Emmh...waktunya pulang," gumam Umar Bakri sambil membereskan buku pelajaran.

Ketua kelas tanpa di komando bergegas maju ke depan untuk memimpin doa, sebagai penutup bahwa aktivitas belajar mengajar hari ini sudah selesai. Anak anak dengan tertib bergegas menuju pintu kelas, tidak lupa sebelum pulang, mereka mencium tangan gurunya.

Setelah kelas sepi. Umar Bakri pergi ke ruang guru, seperti biasa rutinitas sebelum pulang menikmati secangkir kopi eceran yang sudah disediakan oleh kepala sekolah.

" Srupuuut...emhhh nikmat sekali," lirihnya sambil sesekali terbatuk imbas ampas kopi nyangkut di tenggorokan.

Tiba-tiba rekan sejawatnya, Mamat Rahmat yang biasa dipanggil Pa Amat muncul dari balik daun pintu.

" Kri, hari ini nginep di rumah aku yah, temeni aku yah, soalnyah Isteriku malam ini tidur di rumah orang tuanya," pinta Pa Amat dengan ciri khas logat Sundanya.

" Engak Pak Amat, hari ini saya bisa, ada hal penting di rumahku yang harus segera di bereskan," jawab Bakri menyebut rekannya Pak, untuk menghormati rekan sejawatnya yang memang usiannya lebih tua.

" Nanti kamu kecapean Kri," kejar Pak Amat, entah peduli atau ada maunya.

" Mohon maaf ngak bisa Pak," ujar Bakri agak sedikit ketus.

" Baiklah kalau begitu, hati- hati di jalan," ucap Pak Amat sambil mengajak salaman, ngeloyor keluar dari ruangan guru.

" Emhh..Makasih," Jawab Bakri singkat sambil menyeruput kembali kopi ecerannya.

Seperti biasa, dan sudah menjadi kebiasaan Bakri selalu pulang paling akhir. Setelah mengunci ruang kelas dan ruang guru kemudian menghampiri Pak Udung penjaga sekolah.

" Pak Udung, ini kunci ruang kelas dan ruang guru saya titip ya, takutnya besok pagi saya datangnya agak telatan dikit," jelas Bakri.

" Iya Pak Bakri," jawab Pak Udung.

Bakri berjalan mendekati tunggangannya 'Honda Supra Pit' tahun 98' yang selalu setia menemani perjalanan kariernya.

Masih seperti biasanya, Bakri memacu kuda besinya di angka 40 sampai dengan 60, itu sudah maksimal menurutnya.

Setelah melewati tikungan dengan kecepatan 20km/jam, kakinya reflek menginjak rem belakang, karena kaget ia menginjak rem sekuat tenaga, hingga motornya sedikit oleng, namun tidak sampai terjatuh mencium aspal.

Didepan kira-kira 30 meter darinya, ia melihat 3 ekor ayam berdiri di tengah jalan, ayam- ayam ini seperti tidak memperdulikan bahaya di sekitarnya. 

Setelah mendekat, kira- kira 5 meter dari tempat ayam berdiri, sambil bergumam dalam hati; " Ayam gila!," gerutunya.

" Hus...hus..." Hardiknya.

Setelah jaraknya semakin dekat, ternyata ada 4 ekor ayam hutan, salah satu ayam kepalanya pecah, mungkin sebelumnya terlindas kendaraan roda empat.

Awalnya Bakri sempat mengernyitkan alisnya; " Aneh, sungguh aneh, sikap ketiga ekor ayam hutan ini, biasanya kalau ketemu manusia langsung kabur," gumamnya dalam hati.

Setelah memperhatikan sejenak, kemudian mendekat lebih dekat, ayam- ayam tersebut tetap tidak bergeming menunggu kawannya yang tergeletak berlumuran darah, dengan kepala pecah, ketiga ayam hutan tersebut menengoknya secara bersamaan dengan tatapan, yang menurut Bakri agak lain, ada kesedihan di mata tiga ekor ayam tersebut.

Kemudian Bakri menghampiri keempat ekor ayam tersebut, dan memindahkan salah satunya yang kemungkinan sudah mati ke pinggir jalan yang ada semak- semaknya, anehnya ketiga ekor ayam yang sedari tadi berdiri di tengah jalan, kini mengikuti Bakri yang mencoba memindahkan bangkai kawannya ke tepi jalan.

Setelah memindahkannya, Bakri agak menjauh secara alamiah memberikan ruang kepada tiga ekor ayam tersebut mendekati kawannya yang sudah mati, Bakri dengan seksama memperhatikan tingkah laku ketiga hewan tersebut, ketiga hewan tersebut nampak sedih mengerubungi kawannya yang sudah tidak bergerak lagi.

" Kok kok kok...kok...kok...," meskipun sama, namun nada suaranya terdengar agak beda, Bakri membatin.

Kemudian ia bergumam kembali; " Mungkin kawanan ayam hutan ini satu keluarga, saat menyeberang jalan salah satunya terlindas kendaraan, tapi aneh?, ketiga kawannya tetap berdiri di tengah jalan tidak meninggalkan?," gumamnya.

Bakri berdiri terpaku, dalam dirinya muncul keanehan bercampur rasa haru melihat fakta di depan matanya, ia melihat tiga ekor ayam nampak sedang menyesali nasib nahas saudaranya, ah segera kutepis pikiran yang terbawa suasana, namun ketika menoleh lagi, kembali ia terbawa suasana.

Kenyataan ini membawa Bakri pada sisi kemanusiaan, hewan saja tidak meninggalkan saudaranya yang terkena musibah, kemudian sisi kemanusiaan Bakri mengingat akan pentingnya hubungan keluarga dan persaudaraan. Meskipun hanya ayam, mereka menunjukkan empati dan kasih sayang yang luar biasa terhadap saudara mereka yang telah meninggal.

" Terimakasih, ya Allah ada pelajaran berharga dalam perjalanan hidup saya pada hari ini, saya mendapatkan pelajaran luar biasa dari kawanan ayam hutan ini," lirihnya dalam hati.

Pelajaran dari Alam:

Cerita ini mengajarkan kita tentang pentingnya empati dan kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kita mungkin tidak selalu menyadari hal ini, kita dapat belajar dari alam dan makhluk lainnya tentang bagaimana menunjukkan empati dan kasih sayang terhadap sesama makhluk ciptaanNya. 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan pada situasi yang membuat kita merasa sedih atau kehilangan. Namun, dengan mencontoh perilaku ayam-ayam tersebut, kita dapat belajar untuk menunjukkan empati dan kasih sayang terhadap orang lain yang sedang mengalami kesulitan.

Kesimpulan:

Cerita ayam di tengah jalan ini adalah pengingat bagi kita semua tentang pentingnya empati dan kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun hanya seekor ayam, mereka dapat menunjukkan kesedihan dan empati yang luar biasa terhadap saudara mereka yang telah meninggal. Semoga kisah ini dapat menjadi inspirasi bagi kita semua untuk menjadi lebih peduli dan empati terhadap sesama.

Deni Abdul Gani.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lindungi Kawanannya, Tiga Ekor Ayam Hutan Berdiri Menantang Maut, Begini Ceritanya?

Trending Now

Iklan