Surat dari Bangku Belakang

suaracianjur.com
Juni 26, 2025 | 15:34 WIB Last Updated 2025-06-26T08:43:31Z
Foto: Dok. (Net) Gambar ilustrasi deretan bangku sekolah.

SUARA CIANJUR | CIANJUR - Namaku Naira, kelas enam di SD yang sederhana, letaknya di tepi desa. Sekolah kami tak besar, tapi cukup untuk menampung tawa dan tangis anak-anak dengan seragam yang warnanya sudah agak pudar. 

Bangunan tua itu kadang bocor saat hujan deras, dan papan tulisnya penuh bekas kapur yang tak bisa hilang. Tapi di sanalah aku belajar menulis kata pertama untuk mengungkapkan dunia.

Aku selalu duduk di bangku paling belakang. Bukan karena aku tinggi atau karena permintaan sendiri, tapi karena selalu datang terakhir. Setiap pagi, sebelum matahari naik, aku harus membantu ibu menyiapkan keripik singkong yang akan dijual ke warung dekat pasar. 

Tanganku bau minyak, kadang-kadang terluka karena pisau, tapi aku tetap berangkat sekolah—dengan seragam yang kadang belum sempat disetrika, dan sepatu yang masih basah dijemur semalam.

Bangku belakang itu seperti dunia kecil yang sepi. Dari sana, aku bisa melihat kepala teman-temanku yang bergerak ketika mereka menyalin dari papan tulis, mendengar bisik-bisik nakal saat Bu Laras sedang menulis, dan menyaksikan wajah yang penuh semangat… atau penuh kantuk. 

Kadang aku merasa seperti hantu, hadir tapi tak terlihat. Bu Laras adalah wali kelasku. Usianya mungkin belum sampai empat puluh, tapi suaranya tegas dan matanya penuh cahaya.

Ia bisa tertawa bersama kami, tapi juga bisa membuat satu kelas terdiam hanya dengan satu pandangan. Ia tidak pernah membedakan siapa murid pintar dan siapa yang tertinggal_setidaknya begitu yang kurasa.

Tapi, aku tetap merasa bukan siapa-siapa. Saat teman-teman maju ke depan kelas untuk menjawab soal, aku menunduk. Ketika guru bertanya, aku tak pernah angkat tangan, bukan karena aku tidak tahu, tapi karena lidahku seperti mengeras. Aku takut suara yang keluar akan terdengar aneh, atau malah salah, dan ditertawakan.

Suatu hari, Bu Laras memberi tugas menulis surat untuk orang yang berjasa dalam hidup kita. Ia bilang, surat itu tak akan dibacakan di depan kelas, jadi kita bisa menulis dengan jujur. Suasana kelas langsung riuh. Ada yang mau menulis untuk ayahnya yang di luar kota, ada yang untuk ibunya yang sedang sakit, dan ada yang malah ingin menulis untuk idolanya di TV.

Aku terdiam. Kukeluarkan kertas folio, tapi hanya kugambar garis-garis kecil di pinggirannya. Aku tak tahu harus menulis kepada siapa. Ayahku sudah lama pergi, entah ke mana. Ibu terlalu sibuk untuk sempat membaca surat. Kakakku bekerja jauh, dan bahkan tak tahu aku sekarang duduk di kelas enam.

Namun, saat kulihat Bu Laras menuliskan tema tugas itu di papan tulis, tiba-tiba hatiku bergerak. Ya, mungkin aku bisa menulis untuknya. Untuk satu-satunya orang yang kadang menatap ke belakang kelas tanpa memelototi, tapi seperti menyapa.

Surat dari Bangku Belakang

Untuk Ibu Guru, dari murid yang mungkin tak pernah Ibu perhatikan, tapi selalu mendengar.

Bu, Hari-hari saya di kelas mungkin terlihat biasa saja. Saya jarang bicara, lebih sering menunduk, dan mungkin tidak pernah Ibu sebut saat memuji atau menegur. 

Tapi saya selalu ada. Duduk diam, mendengar, dan berusaha mengerti. Saya tidak pandai berhitung, apalagi menggambar. Tapi saya menyukai cara Ibu bercerita saat pelajaran Bahasa Indonesia. Saya suka ketika Ibu menyebut nama penulis dengan penuh hormat, seolah mereka adalah pahlawan. 

Saat itu, saya ingin bisa seperti mereka—menggambarkan hidup dalam kalimat, walau hidup saya tidak indah. Maafkan saya yang sering terlambat, Bu. Kadang bukan hanya soal waktu, tapi juga soal jarak dan perut kosong. Kadang saya malu datang, karena kancing seragam saya hilang satu. 

Tapi ketika melihat Ibu tersenyum dari pintu kelas, saya tahu bahwa saya tidak salah memilih datang.
Ibu pernah bilang, "Semua anak punya cahaya, tapi kadang tertutup debu." Saya ingat kalimat itu. Saya tulis di dinding kamar, pakai spidol yang sudah kering. Saya ingin percaya bahwa saya pun punya cahaya.

Mungkin Ibu tak ingat, tapi suatu kali Ibu meminjamkan bolpoin karena saya tak punya. Itu bolpoin warna biru, ujungnya ada bekas gigitan. Saya menyimpannya hingga hari ini, karena sejak saat itu saya mulai menulis. Menulis tentang mimpi, tentang rindu, tentang dunia dari bangku paling belakang.

Terima kasih, Bu. Terima kasih sudah menoleh ke arah kami yang diam. Terima kasih sudah tidak hanya mengajar, tapi hadir.

Dari saya, Naira 

Murid di bangku belakang, Yang diam, tapi tak pernah lupa.

Keesokan harinya, Bu Laras masuk kelas seperti biasa. Ia membawa tumpukan surat yang belum dibaca. Tapi berbeda dari biasanya, hari itu ia tidak duduk di meja guru. Ia berjalan perlahan ke baris belakang, dan duduk di sebelahku.

Semua murid menatap heran. Tapi Bu Laras hanya tersenyum, lalu berkata; “Kadang, untuk melihat dengan lebih jernih, kita perlu duduk dari tempat yang tak biasa. Hari ini, saya ingin melihat dari bangku Naira.” Aku menunduk. Ada air hangat di pelupuk mataku. Untuk pertama kalinya, aku merasa dilihat. Bukan karena aku membuat masalah, bukan karena aku menang lomba, tapi karena aku menulis. Dan seseorang membaca.

Sejak hari itu, bangku belakang bukan lagi tempat untuk yang tak penting. Tapi tempat awal bagi mimpi yang akhirnya mendapat tempat.

Dan aku? Aku terus menulis. Mungkin belum jadi penulis, tapi aku sudah menemukan suaraku.

Nelly Amalia
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Surat dari Bangku Belakang

Trending Now

Iklan