| Foto: Dok. (Safinah Nur Aini/SC) Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Pelajar, Alarm Serius Bagi Dunia Pendidikan (Gambar ilustrasi- gambar istimewa). |
SUARA CIANJUR | JAKARTA - Fenomena meningkatnya gangguan kesehatan mental di kalangan pelajar menjadi peringatan keras bagi dunia pendidikan agar tak hanya mengejar nilai, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan psikologis siswa.
Beberapa tahun terakhir, semakin banyak pelajar yang diam-diam berjuang menghadapi tekanan mental. Di balik senyum dan prestasi yang terlihat, banyak di antara mereka menyimpan rasa cemas, stres, bahkan depresi. Fenomena ini bukan lagi kasus perorangan, tetapi telah menjadi krisis kesehatan mental yang perlu direspons segera oleh seluruh elemen pendidikan di Indonesia.
Menurut laporan Kementerian Kesehatan RI tahun 2023, sekitar 15,6 persen remaja Indonesia menunjukkan gejala depresi, sementara lebih dari 40 persen mengaku sering merasa cemas dan kehilangan motivasi belajar. Angka tersebut mengindikasikan bahwa sistem pendidikan kita belum sepenuhnya ramah terhadap kesehatan mental siswa.
Kesehatan mental pelajar Indonesia kini berada di titik mengkhawatirkan. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) 2025 menunjukkan, lebih dari 34% pelajar SMA mengalami tekanan emosional, stres akademik, hingga depresi ringan. Tekanan belajar yang tinggi, kompetisi akademik, serta pengaruh media sosial disebut menjadi pemicu utama fenomena ini.
“Banyak siswa merasa harus selalu sempurna berprestasi di sekolah dan tampil ideal di media sosial. Tekanan ini membuat mereka kehilangan rasa bahagia saat belajar,” ujar Saiful Rahmat Dasuki, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.
Tekanan Akademik dan Budaya Perfeksionisme.
Sekolah yang seharusnya menjadi ruang tumbuh dan belajar, sering kali berubah menjadi sumber tekanan. Tugas menumpuk, ujian beruntun, serta ekspektasi tinggi dari guru dan orang tua membuat pelajar terjebak dalam lingkaran perfeksionisme. Nilai rapor dan peringkat kelas menjadi tolak ukur utama kesuksesan, sementara kesejahteraan emosional terabaikan.
Banyak siswa belajar bukan karena keinginan untuk berkembang, melainkan karena takut gagal atau mengecewakan. Dalam psikologi pendidikan, tekanan seperti ini dapat menimbulkan academic burnout kondisi kelelahan fisik dan emosional akibat tuntutan akademik yang berlebihan. Dampaknya tak hanya pada penurunan prestasi, tetapi juga gangguan tidur, penarikan diri sosial, dan bahkan perilaku menyakiti diri.
Layanan konseling di banyak sekolah dinilai belum mampu menjawab kebutuhan psikologis siswa. Keterbatasan jumlah guru BK dan belum adanya psikolog profesional di sekolah menyebabkan banyak remaja memilih diam dan memendam masalah.
Psikolog pendidikan Ratna Dewi, M.Psi., menilai sistem pendidikan masih terlalu menekankan hasil akademik dibanding kesejahteraan emosional siswa.
“Kita sering lupa bahwa anak yang sehat mentalnya akan lebih mudah berprestasi. Sekolah perlu menjadi tempat aman untuk berbagi, bukan sumber tekanan,” tegasnya.
Media Sosial dan Krisis Identitas Remaja
Faktor lain yang memperburuk situasi adalah pengaruh media sosial. Di dunia digital, pelajar hidup dalam budaya perbandingan tanpa akhir. Mereka membandingkan diri dengan teman sebaya dalam hal penampilan, prestasi, maupun gaya hidup. Tekanan untuk “sempurna” di dunia maya kerap menimbulkan rasa cemas, rendah diri, dan terasing.
Alih-alih menjadi sarana ekspresi diri, media sosial sering berperan sebagai pemicu kecemasan sosial. Kondisi ini menyebabkan banyak pelajar merasa “tidak cukup baik” padahal mereka sedang berada pada fase pencarian jati diri yang rentan terhadap tekanan eksternal.
Selain beban akademik, media sosial turut memperburuk kondisi psikologis pelajar. Fenomena fear of missing out (FOMO) dan body image issue semakin banyak ditemukan di kalangan remaja.
Riset Universitas Airlangga (2025) menunjukkan, 7 dari 10 pelajar merasa cemas jika tidak aktif di media sosial, sementara 50% mengaku sering membandingkan diri dengan teman sebaya di dunia maya. Tekanan sosial ini membuat banyak remaja kehilangan kepercayaan diri dan mengalami gangguan tidur.
Sekolah Harus Menjadi Ruang Aman
Krisis ini menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan untuk meninjau kembali paradigma belajar yang selama ini diterapkan. Sekolah perlu menjadi tempat yang aman secara psikologis, di mana siswa dapat tumbuh, gagal, dan belajar tanpa takut dihakimi.
Guru dan tenaga pendidik perlu mendapatkan pelatihan dasar tentang kesehatan mental dan deteksi dini gangguan psikologis pada siswa. Konselor sekolah harus aktif menciptakan ruang konseling yang mudah diakses, bukan sekadar formalitas. Selain itu, penting bagi sekolah mengintegrasikan pendidikan karakter dan well-being ke dalam kegiatan belajar, agar siswa terbiasa mengenali dan mengelola emosinya.
Peran Orang Tua dan Pemerintah
Tanggung jawab menjaga kesehatan mental pelajar bukan hanya di tangan guru. Orang tua memiliki peran penting dalam membangun komunikasi terbuka di rumah. Anak harus merasa aman untuk bercerita tanpa takut disalahkan. Dukungan emosional keluarga adalah benteng pertama melawan stres dan tekanan sosial.
Para ahli menegaskan bahwa krisis ini tidak bisa diatasi hanya dari sisi individu. Sekolah perlu memperkuat layanan bimbingan konseling, sementara orang tua harus lebih peka terhadap perubahan perilaku anak.
“Anak yang tiba-tiba pendiam atau kehilangan semangat belajar harus segera diajak bicara. Deteksi dini jauh lebih baik daripada penyesalan,” kata Ratna Dewi.
Sementara itu, pemerintah perlu memperluas akses layanan konseling di sekolah, memperbanyak tenaga psikolog pendidikan, serta menyusun kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan siswa. Kurikulum sebaiknya tidak hanya menekankan aspek akademik, tetapi juga keseimbangan antara intelektual, emosional, dan sosial.
Pendidikan yang Menyembuhkan
Krisis kesehatan mental di kalangan pelajar seharusnya menjadi momentum bagi dunia pendidikan untuk bertransformasi. Pendidikan yang baik tidak hanya menghasilkan anak cerdas, tetapi juga anak yang bahagia, empatik, dan resilien.
Pendidikan sejatinya bukan sekadar mencetak nilai tinggi, tetapi juga membentuk pribadi yang tangguh dan bahagia. Kurikulum yang manusiawi, lingkungan sekolah yang empatik, dan dukungan emosional dari orang tua menjadi kunci utama.
Jika Indonesia ingin melahirkan generasi emas 2045, maka pendidikan harus menjadi ruang yang tidak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga menyembuhkan hati dan menenangkan pikiran.
Sudah saatnya sekolah menjadi ruang yang menyembuhkan, bukan menekan. Karena sejatinya, tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak nilai tinggi, melainkan membentuk manusia utuh sehat secara fisik, emosional, dan spiritual.
Safinah Nur Aini.